Asosiasi Industri Luminer dan Kelistrikan Indonesia (AILKI) mendukung langkah pemerintah dalam mengatur trafik impor melalui penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor sebagaimana telah diubah dengan Permendag Nomor 3 Tahun 2024.

Hanya saja, terdapat sejumlah kebijakan dalam beleid tersebut yang berpotensi mengancam kestabilan industri pencahayaan dan berdampak samping terhadap sektor lain di dalam negeri.

Diketahui, pemerintah melalui Kementerian Koordinator bidang Perekonomian baru saja menyatakan akan mengatur penerapan masa transisi perubahan aturan tersebut sehingga tidak menimbulkan kendala dan permasalahan dalam praktek di lapangan, juga menyepakati untuk memberikan penundaan terkait implementasi Pertimbangan Teknis (Pertek) atas beberapa komoditas yang akan disepakati kemudian.

Merespons hal tersebut, Ketua AILKI, Lea Indra, menyambut positif langkah pemerintah untuk meninjau teknis pelaksanaan peraturan tersebut sebelum sepenuhnya siap untuk dijalankan, sehingga pelaku industri tetap bisa melakukan impor guna memenuhi tuntutan pasar.

Upaya ini juga perlu dilakukan agar bisnis dapat terus berlangsung tanpa ada ‘black-out period’. AILKI pun meminta agar pemerintah mengikutsertakan komoditas lampu dan industri pencahayaan termasuk komponen pendukung produksi dalam kelompok yang diatur dalam penundaan tersebut.

“Setelah mencermati keputusan pemerintah melalui Permendag 36/2023 yang telah berlaku 10 Maret 2024 ini, AILKI memandang pemerintah perlu untuk memperpanjang masa transisi agar dapat mengantisipasi berbagai kendala yang dapat terjadi. Ini sangat urgent, apalagi komoditas lampu dan turunan lainnya merupakan hal yang esensial dan sangat dibutuhkan oleh industri nasional di berbagai lini,” kata Lea 

Lea membeberkan beberapa tantangan yang dihadapi oleh para pelaku usaha di industri pencahayaan saat ini terkait dengan kebijakan tersebut, misalnya seperti kesiapan sistem proses permohonan Persetujuan Impor (PI) yang diajukan oleh importir.

Kemudian, pengajuan Pertimbangan Teknis (Pertek) dan PI yang memakan waktu sehingga menimbulkan ‘black-out period’. Juga, belum banyak tersedia industri lokal yang mampu memenuhi kriteria pencahayaan berkualitas, terutama yang menggunakan teknologi canggih, sehingga masih membutuhkan impor.

Dengan adanya pembatasan impor, AILKI memprediksi banyak perusahaan anggotanya yang akan mulai kehabisan stok lampu untuk dapat didistribusikan kepada masyarakat ataupun supplier pada Juni 2024.

Hal ini tak lepas karena black-out period yang terjadi di mana para pelaku industri tidak dapat melakukan impor lampu tambahan di periode selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan pasar yang ada. Selain itu, Lea juga menyebutkan pentingnya kesiapan terkait mekanisme perhitungan kuota impor yang transparan, sebagaimana dirasakan oleh beberapa anggota AILKI.

Industri pencahayaan seringkali dibutuhkan menjadi bahan baku atau pendukung lintas industri. Kelangkaan ini pun dikhawatirkan dapat menghambat pembangunan infrastruktur ataupun proyek strategis lainnya.

Jika dilihat secara luas maka pembatasan impor terhadap industri pencahayaan ini juga dapat menghambat investasi sektor swasta seperti pembangunan pabrik dan gedung, serta mengganggu iklim bisnis para pelaku ritel, termasuk UMKM.

“Ke depannya kami khawatir jika pembatasan impor terhadap industri pencahayaan dan komponen pendukung produksi lainnya tidak segera ditinjau kembali maka dampaknya akan semakin meluas dan mengganggu perekonomian. Selain itu, dengan berkembangnya lampu pintar sekarang ini, industri pencahayaan punya peran penting dalam mendukung upaya penghematan energi. Oleh sebab itu, sebagai bentuk komitmen kami dalam memajukan industri pencahayaan Indonesia, kami turut membutuhkan dukungan semua pihak, termasuk pemerintah,” tukas Lea.

SF-Admin