Saat ini, dunia sedang menghadapi fenomena alam seperti gelombang panas, kekeringan, gagal panen, banjir dan kebakaran hutan. Fenomena perubahan iklim ekstrim ini juga terjadi di Indonesia dan telah mengubah kehidupan sehari-hari. Kalangan produsen bahan dan arsitek harus mengakomodasinya dalam konstruksi dan bangunan perumahan terkini.
Menjawab tantangan ini, Semen Merah Putih bersama Atelier Riri menggelar Specifier Roadshow untuk mempertemukan pengembang, kontraktor dan media serta narasumber dari GBCI Green Building Council Indonesia.
Acara ini ini akan memaparkan konsep arsitektur hijau dan inovasi material dapat mendukung terciptanya bangunan yang sehat dan berkelanjutan. Kolaborasi Atelier Riri dan Semen Merah Putih ini, juga sudah diterapkan dalam arsitektur hijau di proyek inovatif Kiri’s House 2.2.
Pendekatan ini diambil sebagai solusi atas tantangan perubahan iklim global yang terjadi selama ini. Menurut mereka, krisis iklim telah berdampak signifikan ke banyak sektor kehidupan termasuk perumahan. Tercatat, 15 pengembang dan kontraktor yang hadir, menyatakan kepedulian yang sama atas tantangan terkini tersebut.
Dalam diskusi bertajuk “Healthy Living with Green Architecture”, Rabu (18/9/2024), Ichfan Kurniawan, Riset & Manager, Green Building Council Indonesia (GBCI), menjelaskan konsep green building atau bangunan hijau berperan sentral dalam mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan meningkatkan kualitas hidup penghuni bangunan.
“Bangunan hijau berkontribusi besar dalam mengurangi emisi karbon melalui penerapan desain ramah lingkungan dan material konstruksi yang berkelanjutan. GBCI juga menekankan bahwa green building harus dilihat sebagai sistem yang terintegrasi, di mana setiap elemen, mulai dari desain arsitektur, pemilihan material hingga pengelolaan bangunan, saling mendukung untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang.” ujar Ichfan.
Di tengah kondisi alam yang semakin fluktuatif, sektor konstruksi dan industri lainnya menyumbang upaya keberlanjutan dalam berbagai business model mereka.
Sektor konstruksi misalnya, ikut menyumbang kebutuhan bahan baku energi sebesar 34%, kebutuhan akan air sebesar 12%, berkontribusi menghasilkan sampah atau limbah sebesar 25%, serta menghasilkan emisi karbon sebesar 37% dalam proses produksinya.
Sektor konstruksi dituntut dapat memberikan solusi inovatif yang mengutamakan keberlanjutan, meningkatkan kualitas sehingga mampu menghadapi perubahan iklim yang meningkat.
Di sinilah pentingnya penerapan konsep arsitektur hijau, yang berfokus pada desain tepat guna, efisiensi energi dan penggunaan material ramah lingkungan.
Kalangan arsitek dinilai berperan dalam merancang bangunan yang tidak hanya mengutamakan estetika, tetapi juga berfungsi meminimalkan penggunaan sumber daya alam, seperti energi dan air.
Arsitek juga merancang bangunan dengan efisiensi energi, memanfaatkan pencahayaan alami, ventilasi yang baik, dan teknologi pengelolaan konsumsi energi. Sementara itu, industri material konstruksi memainkan peran penting dalam menyediakan bahan-bahan yang mendukung pembangunan berkelanjutan.
Menurut Ichfan, material bangunan rendah karbon menjadi salah satu aspek kunci dalam pembangunan gedung hijau. Contohnya, produsen material konstruksi, seperti Semen Merah Putih, berkomitmen melakukan penurunan emisi karbon untuk memastikan bahwa setiap tahap produksi materialnya dari pengambilan bahan baku hingga proses distribusi produk minim dampak negatif terhadap lingkungan.
“Saat ini, inovasi pengembangan material yang lebih efisien dan tahan lama, seperti beton rendah karbon atau material daur ulang, sangatlah penting untuk mengurangi jejak ekologis dari sektor konstruksi,” tambah Ichfan.
Green Building dalam Praktik Arsitektur Hijau
Dalam kesempatan yang sama, Novriansyah Yakub, Arsitek sekaligus Pendiri Atelier Riri menjelaskan bahwa konsep bangunan hijau telah diterapkan dirinya lewat dua pilar sustainability dalam arsitektur hijau.
Pertama, arsitektur hijau mengupayakan fungsi pasif bangunan yang dihasilkan dari desain dan struktur bangunan. Pilar kedua, arsitektur hijau mengupayakan fungsi bangunan yang aktif meningkatkan kualitas pengelolaan berbagai aspek bangunan.
“Fungsi pasif maupun aktif dari bangunan, keduanya didasari pada tiga aspek. Pertama, aspek sosial yang mencakup kecocokan selera dan kepuasan pengguna atau penghuni bangunan. Aspek kedua adalah budget. Aspek ini mewakili optimalisasi biaya mulai dari saat pembangunan, penggunaan hingga perawatannya. Terakhir, aspek environment atau lingkungan. Aspek ini mengacu kepada menjaga dan memelihara keseimbangan lingkungan, khususnya pada iklim tropis seperti di Indonesia,” jelas Riri.
Riri menerapkan fungsi pasif bangunan yang berfokus pada desain bangunan yang harmonis dengan alam. Desain ini tidak hanya mempertimbangkan aspek estetika, namun juga memperhatikan faktor-faktor seperti pencahayaan alami, ventilasi, dan pemilihan material yang ramah lingkungan. Dengan demikian, bangunan tidak hanya nyaman ditempati, tetapi juga minim dampak terhadap lingkungan.
Selanjutnya, Atelier Riri menawarkan solusi melalui fungsi aktif bangunan yang menggunakan teknologi dan sistem modern untuk mengontrol lingkungan dalam bangunan, baik untuk pencahayaan, pemanasan, pendinginan, maupun ventilasi.
Desain ini biasanya mengintegrasikan perangkat yang secara aktif memantau dan mengatur penggunaan energi untuk mencapai efisiensi yang lebih tinggi.
Proyek Kiri House 2.2 yang diinisiasinya adalah pengembangan dari Kiri House 1.0 dengan bekerja sama dengan Semen Merah Putih dalam menerapkan arsitektur hijau secara menyeluruh. Proyek ini menghadirkan desain yang lebih adaptif terhadap iklim tropis Indonesia dengan penambahan fungsi ruang dan perbaikan proteksi bangunan.
“Kiri House 2.2 dirancang dengan ruang yang kompak untuk menciptakan gaya hidup praktis namun tetap estetis. Bentuknya simpel dengan geometri empat sisi, dan setiap ruangan dirancang fungsional untuk menciptakan integrasi ruang yang optimal,” lanjut Riri.
Riri juga menyoroti tantangan utama dalam mendesain Kiri House 2.2, yakni iklim tropis dengan kelembaban dan curah hujan yang tinggi. Ia menyatakan bahwa pada fase awal Kiri House 1.0, masalah dinding lembab menjadi tantangan besar, namun hal ini diatasi melalui inovasi dalam penggunaan material kedap air dan insulasi pada Kiri House 2.2.
“Pemilihan material tahan air, seperti Semen Merah Putih Watershield, sangat penting untuk menjaga kenyamanan dan kesehatan penghuni,” jelas Riri.
Produk Hijau dari Hulu ke Hilir Mendukung Pembangunan Berkelanjutan
Penerapan prinsip green building tidak hanya melibatkan desain dan material bangunan yang ramah lingkungan tetapi juga mencakup keseluruhan siklus hidup produk bahan bangunan dari hulu ke hilir.
Syarif Hidayat, Head of Technical Marketing Semen Merah Putih, memaparkan bahwa Semen Merah Putih turut berperan aktif dalam mendukung konsep green building melalui inovasi material yang ramah lingkungan.
Salah satu produk unggulannya, Watershield, merupakan semen dengan teknologi water repellent yang dirancang untuk mengurangi kebutuhan material tambahan seperti bahan anti rembes.
Teknologi ini memungkinkan bangunan bebas dari masalah kelembaban dan rembesan air, sehingga tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga mempercepat proses konstruksi.
“Watershield adalah contoh nyata bagaimana kita berkontribusi pada keberlanjutan secara aktif. Dengan teknologi water repellent, semen ini tidak memerlukan material tambahan anti rembes, yang secara langsung menghemat waktu dan biaya dalam proses aplikasinya. Ini merupakan langkah besar dalam mendukung efisiensi konstruksi yang lebih berkelanjutan” ungkap syarif
Melalui kolaborasi ini, Semen Merah Putih dan Atelier Riri berharap dapat memperkuat komitmen mereka terhadap arsitektur hijau di Indonesia.
Proyek Kiri’s House 2.2 diharapkan dapat menjadi model bagaimana integrasi antara inovasi material bangunan dan desain arsitektur hijau dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
“Sebagai bentuk dukungan kami terhadap prinsip bangunan dan arsitektur hijau, Semen Merah Putih Watershield tidak hanya memberikan solusi dalam hal performa, tetapi juga dalam hal jejak karbon. Sebagai semen PCC, produk ini memiliki jejak karbon yang lebih rendah dibandingkan semen OPC, menjadikannya pilihan yang lebih ramah lingkungan.” pungkas Syarif.
SF-Admin