Usia bukan penghalang untuk berkarya. Itulah yang dibuktikan oleh Ibu Siami. Meski umurnya sudah 74 tahun, perempuan asal Dusun Delik, Desa Jambesari, Kecamatan Giri, Banyuwangi, itu terus berupaya merajut benang untuk menghasilkan tenun osing yang nyaris punah.
Ibu Siami memang sosok inspiratif, menjadi pelestari tenun osing. Dia bahkan menjadi satu-satunya perempuan di Suku Osing yang punya alat dan pengetahuan tentang kain tenun khas Suku Osing di Banyuwangi. Ibu dua putri itu sudah puluhan tahun mengurai pintalan benang dan merajutnya menjadi tenun osing.
“Saya belajar sejak tahun 1964, saat kelas 4 SD. Dulu di sini banyak penenun, hampir semua perempuan menenun. Tapi sekarang yang masih menenun hanya saya,” tutur Ibu Siami.
Penenun generasi ke tiga di Suku Osing ini masih ingat masa-masa belajar menenun. Dulu Ibu Siami dilarang memegang kain yang sedang ditenun sang ibu karena takut rusak. Maklum, pengerjaan menenun kain cukup rumit dan butuh waktu lama. Bila rusak, maka bisa tidak jadi dan harus mengulang dari awal.
“Dulu belajarnya cuma bisa melihat, dimarahi kalau ikut-ikut karena biaya untuk membuat kain mahal. Takutnya rusak,” tutur Ibu Siami.
Untuk membuat satu lembar kain tenun, Ibu Siami membutuhkan waktu hingga sebulan. Butuh kesabaran dan ketelatenan dalam menenun. Karena itu pula, banyak perempuan di Desa Jambesari yang enggan menenun.
“Banyak yang memilih ke sawah daripada menenun karena waktu yang lama itu. Sehingga sekarang tidak ada yang mau menenun lagi,” kata dia.
Perempuan yang menjadi Local Heroes Amartha ini berharap generasi sekarang dapat tertarik untuk belajar menenun. Dia tidak ingin tenun osing berakhir di tangannya yang sudah renta, sehingga bisa lestari.
Kini Ibu Siami menaruh harapan besar pada putri bungsunya, Ariyana, untuk meneruskan tradisi menenun di Suku Osing. Apalagi, Ariyana sudah mau belajar meski tidak mudah. “Kemarin mencoba sudah agak bisa. Karena alatnya ini hanya satu-satunya ya harus gantian memakainya,” kata Ariyana.
Kain tenun Ibu Siami terdiri dari empat motif, yaitu Keluwung, Solok, Boto Lumut, dan Gedokan. Selembar kain tenun Ibu Siami dibanderol Rp4 juta hingga Rp5 juta. Ariyana bertekad meneruskan keahlian menenun sang ibu karena melihat peluang ekonomi yang lumayan besar.
“Selain untuk melestarikan budaya, saya ingin meneruskan tradisi menenun ini karena memberi peluang ekonomi yang bisa membantu keluarga,” tutur Ariyana.
Dia berterima kasih karena sang ibu mendapat apresiasi dari Amartha. Menurut Ariyana, dukungan itu sangat berarti bagi sang ibu yang tidak pernah lelah menenun untuk melestarikan tradisi.
“Kemarin bantuan dari Amartha sebagian dibuat membeli benang untuk menenun kain yang baru. Alhamdulillah bisa ada bahan untuk menenun lagi,” tutur Ariyana.
Sementara, Head of Micro Business PT Amartha Micro Fintek area Jawa Timur, Abdul Munim Zainul, mengatakan, semangat Ibu Siami dalam melestarikan budaya harus mendapat apresiasi. Perusahaan pembiayaan berbasis teknologi ini menjadi pihak swasta pertama yang memberikan apresiasi kepada Ibu Siami.
“Di Amartha itu ada namanya Local Heroes, penghargaan untuk orang-orang inspiratif yang memberi dampak bagi lingkungan dan komunitasnya, seperti Ibu Siami ini,” kata Zainul.
Menurut Zainul, Amartha juga akan membantu mempromosikan kain tenun osing karya Ibu Siami yang nyaris punah tersebut. “Agar budaya seperti ini bisa tetap dilestarikan, dan bisa memberikan dampak yang lebih besar lagi,” tutur Zainul.
Kepala Desa Jambesari, Ali Mansur, mengatakan, tahun depan akan mengadakan pelatihan menenun dengan menyasar generasi muda sehingga terjadi proses regenerasi. Pelatihan itu akan dilakukan oleh Karang Taruna Desa Jambesari.
“Kita utamakan generasi muda, tapi nanti kelasnya untuk umum juga ada. Kami ingin tradisi yang dilestarikan Ibu Suami ini tetap terjaga,” ujar Ali Mansur.
SF-Admin