![[ki-ka] Vlad Rozanovich,](https://i0.wp.com/markettrack.id/wp-content/uploads/2025/03/ki-ka-Vlad-Rozanovich.jpg?resize=696%2C495&ssl=1)
markettrack.id – Meskipun pengeluaran untuk AI terus meningkat, adopsinya di kawasan ASEAN+ masih dalam tahap awal. Dan kini, para pemimpin bisnis dan pengambil keputusan TI mengonfirmasi percepatan tren investasi AI yang semakin berfokus pada ROI.
Sejalan dengan ini, organisasi di Asia Pasifik (AP) meningkatkan pengeluaran AI sebesar 3,3 kali lipat, sementara di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN+1) peningkatannya mencapai 2,7 kali lipat.
Temuan ini berasal dari edisi ketiga Lenovo’s CIO Playbook 2025 – It’s Time for AI-nomics, sebuah studi yang diprakarsai oleh Lenovo berdasarkan data dan analisis dari IDC.
Studi ini mengacu pada survei global terhadap lebih dari 2.900 responden, termasuk lebih dari 900 pengambil keputusan TI dan bisnis (ITBDM) di 12 pasar Asia Pasifik.
Tahap Awal Adopsi AI – ROI Menjadi Hambatan Terbesar
Saat ini, 47% organisasi di wilayah tersebut sedang mengevaluasi atau merencanakan implementasi AI dalam 12 bulan ke depan, angka yang lebih rendah dibandingkan rata-rata Asia Pasifik (56%) dan global (49%).
Tantangan utama yang dihadapi adalah ROI (Return on Investment), yang menjadi hambatan terbesar dalam penerapan AI.
Singapura menonjol sebagai pusat regional dengan kematangan dan infrastruktur AI yang lebih maju, sementara negara-negara ASEAN+ lainnya masih menghadapi kendala dalam adopsi AI akibat keterbatasan sumber daya dan keahlian.
Mewujudkan ROI dari AI adalah upaya jangka panjang yang memerlukan keseimbangan antara eksperimen dan proyek yang dapat diperluas skalanya.
Menariknya, organisasi di Asia Pasifik mengharapkan ROI rata-rata 3,6 kali lipat dari investasi AI mereka, yang menuntut pendekatan terukur dalam peningkatan skala dan pengembangan kapabilitas internal.
Adopsi AI yang lebih bertahap di ASEAN+ mencerminkan fokus pada optimalisasi rantai pasokan, peningkatan kepatuhan regulasi, serta peningkatan produktivitas karyawan, dengan mengatasi tantangan seperti manajemen data, keterampilan AI, dan keamanan data.
Mengatasi Tantangan dalam Mempersiapkan Organisasi
Prioritas bisnis yang terus berkembang setiap tahun mencerminkan pemahaman yang lebih dalam tentang faktor pendorong pertumbuhan AI, sekaligus meningkatnya kesadaran terhadap risikonya.
Isu etika dan bias tetap menjadi tantangan utama AI tahun ini, namun hanya 24% organisasi global dan 25% di Asia Pasifik yang telah sepenuhnya menerapkan kebijakan AI GRC (governance, risk, and compliance).
Di ASEAN+, 24% CIO melaporkan telah mengimplementasikan kebijakan AI GRC secara penuh, sejalan dengan tren global dan Asia Pasifik.
Ini menegaskan perlunya pendekatan yang lebih terstruktur dalam menangani aspek tata kelola AI, yang kini menjadi prioritas utama bisnis di kawasan.
Tata kelola AI yang efektif membutuhkan kejelasan dalam prinsip etika, akuntabilitas, pengelolaan model, serta peningkatan privasi, keamanan, dan pengawasan manusia secara terintegrasi.
“Prioritas bisnis di Asia Pasifik terus berkembang,” kata Sumir Bhatia, President Infrastructure Solutions Group, Lenovo Asia Pacific.
Pada 2025, tambah Sumir, “Governance, Risk, dan Compliance naik 12 peringkat menjadi prioritas utama, menyoroti fokus pada AI yang aman dan bertanggung jawab. Produktivitas karyawan juga meningkat dari peringkat ke-7 ke posisi ke-2, menunjukkan peran yang semakin krusial. Lenovo berkomitmen untuk membuat AI lebih mudah diakses, etis, berdampak, dan mendukung bisnis dari berbagai skala.”
Adopsi GenAI Semakin Cepat
GenAI diperkirakan akan mengubah alur kerja perusahaan, dengan 42% pengeluaran untuk implementasi AI pada 2025 di ASEAN+ akan dialokasikan untuk teknologi ini:
- Di Asia Pasifik, operasi TI menjadi kasus penggunaan utama, sementara di ASEAN+, layanan pelanggan mendominasi.
- Ada lebih banyak fokus pada keamanan siber (ke-2) dan pengembangan perangkat lunak (ke-3) di Asia Pasifik.
- Sementara itu, di ASEAN+, operasi TI berada di peringkat (ke-2), disusul oleh rekayasa/R&D (ke-3) yang menjadi prioritas.
Infrastruktur On-Prem dan Hybrid Mendominasi
Laporan ini mengungkapkan bahwa 65% organisasi di Asia Pasifik memilih solusi on-prem atau hybrid untuk mendukung beban kerja AI.
Preferensi ini didorong oleh kebutuhan akan lingkungan yang aman, latensi rendah, dan fleksibilitas operasional. Sementara itu, 19% masih bergantung pada layanan cloud publik.
ASEAN+ mencerminkan tren serupa, dengan 68% menggunakan solusi hybrid atau on-prem, sementara sisanya bergantung pada cloud publik.
“Arsitektur hybrid menawarkan kombinasi terbaik dari skalabilitas dan kontrol,” ujar Budi Janto, General Manager, Lenovo Indonesia.
Ia menambahkan, “Secara global, 63% organisasi memilih infrastruktur on-premise dan hybrid untuk AI, dengan ASEAN+ mencatat tingkat adopsi yang lebih tinggi. Hal ini mencerminkan fokus yang kuat pada inovasi sekaligus memastikan keamanan dan kepatuhan terhadap kebutuhan spesifik AI. Dengan solusi AI canggih yang menyeluruh, infrastruktur yang lebih cerdas, dan kemitraan strategis, Lenovo mendorong penerapan AI yang lebih cerdas untuk semua.”
AI PC: Adopsi Awal Menunjukkan Peningkatan Produktivitas
AI PC semakin diminati di Asia Pasifik, dengan 43% organisasi melaporkan peningkatan produktivitas yang signifikan. Meskipun kesadaran terhadap teknologi ini meningkat, adopsinya masih berjalan lambat di berbagai pasar.
Di ASEAN+, 65% organisasi telah memasuki tahap perencanaan untuk mengadopsi PC berbasis AI. Seiring dengan semakin matangnya teknologi dan terbuktinya pengembalian investasi (ROI), laju adopsi diperkirakan akan semakin cepat, mendorong transformasi tempat kerja digital yang lebih luas.
Kebutuhan Akan Kemitraan yang Terampil
Dengan semakin banyaknya organisasi yang memperluas upaya AI mereka, 34% CIO di Asia Pasifik dan 44% CIO di ASEAN+ secara aktif memanfaatkan layanan AI profesional untuk mengatasi tantangan dalam manajemen data, keterbatasan talenta, dan efisiensi biaya.
Menariknya, 56% CIO di ASEAN+ lainnya sedang menjajaki atau merencanakan penggunaan layanan ini dalam waktu dekat.
Kolaborasi ini membantu mengatasi keterbatasan kemampuan internal, memungkinkan organisasi untuk lebih fokus pada peningkatan keterampilan tim mereka serta membangun ketahanan jangka panjang.
“Adopsi AI bukan hanya tentang keuntungan jangka pendek. Organisasi perlu berinvestasi dalam desain yang efisien, penerapan yang tepat, dan integrasi solusi AI ke dalam operasional mereka untuk memastikan dampaknya dapat terukur. Layanan AI profesional memainkan peran penting dalam membantu organisasi mengadopsi AI dengan sukses melalui pendekatan berbasis hasil. Solusi seperti Lenovo AI Fast Start semakin mempercepat proses ini, memungkinkan bisnis untuk dengan cepat melakukan uji coba, mengoptimalkan, dan meningkatkan skala inisiatif AI dengan bimbingan ahli serta kerangka kerja yang telah teruji,” tutup Fan Ho, Executive Director dan General Manager, Solutions and Services Group, Lenovo Asia Pacific.
SF-Admin