[Paessler White Paper] Tetap Waspada Memantau perjalanan menuju praktik IT berkelanjutan

Banyak perusahaan melihat upaya keberlanjutan dan proftabilitas sebagai hal yang kontradiktif. Namun, jika kita mengukurnya dengan benar, kombinasi keduanya dapat menghasilkan efsiensi biaya dan keunggulan kompetitif.

Sangat penting untuk membangun strategi IT yang kuat, strategi transformasi digital dan mengembangkan kerangka kerja keberlanjutan yang semuanya terintegrasi dengan kerangka kerja monitoring IT secara komprehensif.

Saat ini, terdapat kesenjangan antara praktik bisnis keberlanjutan dan transformasi digital di kalangan perusahaan dan organisasi di Indonesia, menurut hasil studi terbaru oleh Paessler, pakar monitoring untuk infrastruktur dan jaringan IT (information technology).

Studi berjudul “Keeping Watch: Monitoring Your Path to Sustainable IT” ini bertujuan untuk menyoroti kondisi praktik upaya keberlanjutan di kalangan bisnis saat ini dan menyelami lebih dalam tentang faktor pendorong dan penghambat dalam menerapkan praktik IT keberlanjutan.

Sejumlah rintangan para bisnis dalam mengadopsi praktik keberlanjutan di Indonesia pun terungkap di dalam studi ini, yang termasuk; menyeimbangkan metrik ESG dengan target pertumbuhan (68%), biaya penerapan ke bisnis (50%), kurangnya kejelasan dari pembuat regulasi tentang standar pelaporan (45%), dan minimnya pengetahuan teknis tentang implementasi perencanaan (40%).

Sebanyak 75% perusahaan di Indonesia merasa sangat optimis terhadap prospek bisnis dalam tiga tahun ke depan.

Hasil studi menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan masih menganggap praktik upaya keberlanjutan dan transformasi digital masih berjalan sendiri-sendiri serta tidak saling terkait. Para perusahaan tengah berupaya mengembangkan kerangka kerja keberlanjutan dan strategi transformasi digital secara setengah-setengah.

Akibatnya, sumber daya yang mereka miliki—baik itu anggaran biaya, waktu, maupun keahlian yang terlibat—menjadi kurang efektif. Mereka juga tidak memiliki kemampuan dan keahlian untuk mengembangkan kerangka kerja keberlanjutan dan menjalankannya; yang dengan jelas menyoroti ketidakterkaitan antara praktik keberlanjutan yang dilakukan dan perjalanan transformasi digital mereka.

Di saat bersamaan, sejumlah perusahaan di Indonesia menyadari manfaat monitoring infrastruktur IT, yang merupakan roda penggerak utama dalam strategi IT sebuah organisasi dalam membantu mengoptimalkan konsumsi energi (100%), menganalisis kebutuhan nyata pada perangkat IT tahap lanjut (100%), memantau faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, CO2, dan lain-lain (98%), mengurangi emisi (95%), dan mengukur jumlah penghematan sumber daya (95%).

Oleh karena itu, strategi IT yang berkelanjutan dengan dukungan kerangka kerja monitoring yang komprehensif harus memiliki andil dari operasional bisnis. Hal ini akan memastikan ketersediaan sumber bahan untuk proses produksi dan semua komponen lain dari bisnis yang berkelanjutan, agar nantinya dapat diintegrasikan dengan strategi transformasi digital yang menyeluruh.

Dengan ekonomi Indonesia yang diperkirakan akan tumbuh hingga 4.8% pada tahun 2023 dan 5% pada tahun 2024, sejumlah bisnis yang berfokus pada transformasi digital, upaya keberlanjutan, serta peningkatan produktivitas dan efsiensi sebagai area prioritas utama lebih siap dalam menghadapi perlambatan ekonomi global.

“Menjembatani kesenjangan antara transformasi digital dan upaya keberlanjutan untuk membuat keputusan berbasis data dapat menghasilkan optimalisasi sumber daya dan menghadirkan manfaat ekonomi bagi bisnis,” ujar Felix Berndt, Regional Sales Manager, Asia Pacifc, Paessler.

Di wilayah ASEAN, Indonesia tertinggal dari negara lain dalam upaya keberlanjutan. Menurut salah satu pembuat keputusan di bisnis manufaktur garmen besar di Indonesia, “Keberlanjutan tidak boleh mengorbankan pengalaman konsumen atau keuntungan perusahaan. Hal tersebut merupakan metrik perusahaan yang baik dan dijamin oleh investor dan regulator industri. Sayangnya, pada saat kondisi ekonomi mengalami penurunan, metrik keberlanjutan menjadi kurang diperhatikan.”

Praktik keberlanjutan (ESG) dan upaya Transformasi Digital Tidak Sejalan

Meskipun keberlanjutan merupakan salah satu dari 3 prioritas bisnis utama untuk tiga tahun ke depan, keberlanjutan bahkan tidak termasuk sebagai salah satu dari 5 tantangan teratas bagi bisnis di sejumlah negara dan sektor.

Sebaliknya, tantangan seperti meningkatnya persaingan, transformasi digital, mendorong pertumbuhan (top line), meningkatkan proftabilitas (bottom line), dan manajemen SDM dipandang sebagai lima tantangan teratas oleh bisnis.

TIga pendorong utama untuk mengadopsi kerangka kerja keberlanjutan adalah reputasi (45%), mengikuti standar operasional industri (36%), dan mematuhi kerangka regulasi (24%).

Vertikal bisnis teknologi, telekomunikasi, dan pusat data (82%) dinilai sebagai tiga jenis vertikal bisnis yang telah memiliki strategi IT yang sudah berjalan, diikuti oleh bisnis manufaktur (79%), dan layanan penting/sektor publik (66%). Di saat sektor publik tertinggal dalam hal ini, 31% mengatakan bahwa mereka akan memulai perjalanan strategi IT yang berkelanjutan di tahun depan.

Transformasi digital dapat memungkinkan adanya keberlanjutan dengan membantu bisnis-bisnis menjadi lebih efsien, mengurangi dampak terhadap lingkungan, dan membantu mereka mencapai tujuan keberlanjutan.

Dengan memanfaatkan teknologi digital yang tepat dapat membantu memantau dan mengoptimalkan penggunaan energi, mengurangi limbah, dan menyederhanakan sistem rantai pasok. Pengetahuan atas pentingnya strategi IT yang berkelanjutan dapat ditingkatkan jika didukung oleh sistem monitoring IT yang efektif.

Metodologi Penelitian

Studi Paessler berjudul “Keeping Watch: Monitoring Your Path to Sustainable IT” dilakukan oleh Intuit Research selama periode Desember 2022 hingga Maret 2023, untuk memahami situasi praktik keberlanjutan terkini di kalangan bisnis, dan menyelami lebih dalam tentang faktor pendorong dan hambatan dalam menerapkan praktik IT keberlanjutan.

Para pengambil keputusan inti dari sejumlah perusahaan besar (dengan kisaran pendapatan USD 50 juta hingga lebih dari USD 1 miliar) yang berasal dari enam negara; Singapura, Thailand, Malaysia, Indonesia, Australia, dan Selandia Baru diwawancara untuk penelitian ini. Opini dikumpulkan dari para pengambil keputusan bisnis senior di tiga sektor industri utama – Manufaktur, Layanan Penting, dan Teknologi / Telekomunikasi / Pusat Data.

SF-Admin