markettrack.id – Survei terbaru dari Salesforce menemukan adanya tuntutan yang kian tinggi dari pimpinan bisnis mengenai bagaimana data dapat didorong untuk menghasilkan nilai yang lebih besar bagi perusahaan.
Ambisi perusahaan di Indonesia untuk menjadi entitas yang digerakkan oleh kecerdasan buatan (Agentic AI) kini menghadapi tantangan mendasar.
Namun, sebagian besar perusahaan masih menghadapi kendala utama, yaitu terbatasnya akses terhadap data yang dibutuhkan untuk mencapai visi tersebut.
Kesenjangan yang signifikan terlihat antara persepsi kematangan data dan kenyataan di lapangan. Meskipun hampir delapan dari sepuluh (78%) pemimpin bisnis di Indonesia menganggap organisasi mereka sudah berbasis data, 90% pimpinan data dan analitik justru mengakui kesulitan mendorong prioritas bisnis melalui data.
Ini menunjukkan bahwa pondasi data yang ada saat ini sedang berjuang keras untuk menopang ambisi bisnis yang besar.
Situasi ini menuntut respons cepat di kalangan pimpinan teknologi. Faktanya, 95% pimpinan di bidang data dan analitik menyatakan bahwa mereka perlu melakukan perombakan total pada strategi data sebelum dapat berhasil menerapkan strategi AI.
Keberhasilan implementasi AI, menurut Gavin Barfield, Wakil Presiden dan CTO, Solutions, ASEAN, Salesforce, akan sangat bergantung pada seberapa baik organisasi memodernisasi dan menyatukan fondasi data mereka, serta memecah silo untuk membuka kecerdasan bisnis yang sesungguhnya.
Kualitas Data yang Buruk dan Data yang Terperangkap Menghambat AI
Fondasi data yang bermasalah menjadi ujian terberat bagi inisiatif AI, yang kini menempati peringkat kedua dalam prioritas data di Indonesia setelah penyediaan akses data yang tepat waktu.
Akibatnya, setengah (50%) pemimpin data dan analitik merasa tertekan untuk segera menerapkan AI. Ironisnya, 49% dari mereka belum sepenuhnya yakin terhadap akurasi dan relevansi dari hasil keluaran AI.
Keraguan ini beralasan, karena sebanyak 88% pimpinan data dan analitik yang telah menjalankan AI di lingkungan produksi melaporkan bahwa hasil keluaran AI tidak akurat atau menyesatkan.
Masalahnya diperparah oleh data perusahaan yang terpencar-pencar, dengan 23% pimpinan menilai data di organisasi mereka sebagai “tidak dapat dipercaya”.
Selain itu, hampir setengah (46%) pimpinan di perusahaan yang melatih model AI sendiri melaporkan pembuangan sumber daya yang signifikan karena kualitas data yang buruk.
Persoalan tidak hanya pada kualitas data, tetapi juga akses. Sebanyak 91% pemimpin data dan analitik meyakini bahwa data yang terpadu adalah kunci untuk mewujudkan ekspektasi pelanggan, namun data masih terperangkap dalam silo.
Para pemimpin di Indonesia memperkirakan 17% data perusahaan mereka tersilo, tidak dapat diakses, atau tidak dapat digunakan, dan lebih mengkhawatirkan lagi, 47% percaya bahwa wawasan bisnis paling bernilai berada dalam 17% data yang tak dapat diakses tersebut.
Dampak dari fragmentasi ini meluas, di mana sekitar tujuh dari sepuluh pemimpin data dan analitik menyebut kapabilitas AI menurun, pandangan terhadap pelanggan menjadi kabur, dan peluang pendapatan terlewatkan.
Solusi: Zero Copy dan Agentic Analytics
Untuk mengatasi tantangan data yang terperangkap dan kurang berkonteks, pimpinan teknis disarankan untuk berfokus pada hal-hal mendasar.
Mereka perlu menghadirkan data secara tepat waktu dan kaya konteks, membangun tata kelola data yang lebih kuat, serta mengembangkan arsitektur zero copy.
Konsep Zero Copy merujuk pada penggunaan data tanpa perlu memindahkan atau menyalinnya dari satu basis data ke basis data lain, memungkinkan analisis langsung dari sumber asli untuk menghemat waktu, menekan biaya, dan mengurangi risiko.
Pendekatan zero copy data integration mulai diadopsi oleh 47% organisasi di Indonesia untuk mengurangi potensi munculnya tantangan akibat data yang terperangkap.
Perusahaan yang menerapkan zero copy memiliki probabilitas 18% lebih tinggi dalam menghadirkan pengalaman pelanggan yang unggul dan 33% lebih mungkin memiliki integrasi data yang sangat baik.
Selain itu, adopsi agentic analytics yang menghadirkan wawasan tepercaya langsung ke dalam alur kerja juga dibutuhkan dalam perjalanan menuju agentic enterprises.
Antarmuka dengan bahasa natural ini dapat mengatasi kendala literasi data, sebab 97% pimpinan bisnis di Indonesia menyatakan kinerja mereka akan lebih baik jika dapat mengajukan pertanyaan data dalam bahasa yang natural.
Terakhir, pembaruan tata kelola dan protokol keamanan data sangat diperlukan untuk menjawab tuntutan data yang kian kompleks. Sebanyak 89% pemimpin data dan analitik sepakat bahwa AI menuntut diterapkannya sebuah pendekatan baru terhadap tata kelola dan keamanan.
CEO Salesforce Marc Benioff mengingatkan bahwa untuk memperoleh nilai dan konteks maksimal dari model AI, perusahaan harus membenahi data, beranjak ke solusi yang lebih terintegrasi, dan menyusun tata kelola dengan benar.
SF-Admin


