markettrack.id – Dalam menyambut Hari Koperasi Nasional yang jatuh pada 12 Juli, Universitas Paramadina mengadakan diskusi publik bertajuk “Koperasi Merah Putih: Menghadapi Realita, Meretas Solusi”.

    Diskusi daring melalui Zoom Meeting pada Jumat (11/7) ini menghadirkan akademisi dan praktisi koperasi dari berbagai bidang, serta dimoderatori oleh Didip Diandra, MBA., dosen Universitas Paramadina.

    Wakil Rektor Bidang Mutu dan Kerjasama Universitas Paramadina, Prof. Dr. Iin Mayasari, membuka acara dengan menegaskan keselarasan nilai-nilai koperasi dengan nilai-nilai Keparamadinaan, yaitu Keindonesiaan, Keislaman, dan Kemodernan.

    “Koperasi memiliki semangat gotong royong, empati, dan kolaborasi, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa kita. Inilah mengapa penting bagi institusi akademik seperti Paramadina untuk turut menyuarakan pandangan yang konstruktif terkait inisiatif Koperasi Merah Putih,” ujar Prof. Iin.

    Wakil Rektor Bidang Pengelolaan Sumber Daya Universitas Paramadina, Dr. Handi Risza Idris, memberikan pandangan kritis terhadap target ambisius pemerintah membentuk 80.000 Koperasi Merah Putih (KMP).

    Menurutnya, koperasi memang merupakan amanat konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945, namun harus tetap menjunjung asas kemandirian dan kekeluargaan.

    Handi menegaskan, “Jangan sampai koperasi hanya menjadi instrumen politis atau proyek sentralistik pemerintah pusat, seperti yang pernah terjadi pada KUD masa lalu. Terlebih, sumber pendanaan KMP berasal dari dana desa dan APBDes. Jika tidak dikelola dengan prinsip good governance, program ini berpotensi menjadi beban baru, bukan solusi.”

    Sorotan tajam datang dari Suroto, S.E., Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang, sekaligus Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan mahasiswa Pascasarjana Universitas Paramadina.

    Suroto menyebut pembentukan KMP sebagai kebijakan yang mengejutkan dan kontroversial. Ia menambahkan, “Penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9/2025 yang mengatur pendirian KMP secara top-down menimbulkan kebingungan hukum dan patut dipertanyakan dasar legalitasnya.”

    Suroto mengkritik bahwa pendekatan negara dalam mendirikan koperasi bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 1992 yang menekankan kemandirian dan otonomi. Pendekatan ini, menurut Suroto, mencederai semangat demokrasi ekonomi.

    Dampak Ekonomi dan Peran Akademisi

    Sementara itu, dosen Universitas Paramadina Muhammad Iksan, MM., memaparkan tantangan dari sisi makroekonomi. Ia menyebut pembentukan KMP terjadi di tengah ketidakpastian ekonomi, yang ditandai dengan pertumbuhan PDB yang melambat, inflasi yang meningkat, dan nilai tukar rupiah yang fluktuatif.

    Iksan menjelaskan, “Target 80.000 koperasi memang ambisius. Hingga Juni 2025, sudah terbentuk lebih dari 72.600 koperasi. Namun tantangan tetap besar—mulai dari menurunnya koperasi simpan pinjam, lemahnya tata kelola, hingga rendahnya inklusi koperasi.”

    Menutup diskusi, moderator Didip Diandra, MBA., menggarisbawahi pentingnya pengawalan dari kalangan akademik untuk menjaga arah kebijakan koperasi di Indonesia agar tetap pada jalur yang benar. Didip menegaskan, “Koperasi seharusnya bukan alat politik atau proyek jangka pendek, melainkan

    SF-Admin

    Share.
    Leave A Reply